Kamis, 28 Januari 2016

Din Syamsuddin
 
Prof. Dr. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA


Prof. Dr. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA dikenal pula dengan nama pendek dan lebih populer, Din Syamsudin. Suami Fira Beranata ini lahir di Sumbawa Besar, 31 Agustus 1958. Selama mengarungi bahtera rumah tangganya, Din Syamsuddin dikarunia dua putra dan seorang putri yang masing-masing memiliki nama indah. Yaitu, Farazahdi Fidiansyah, Mihra Dildari dan Fiardhi Farzanggi.

Kiprah Din Syamsuddin di Persyarikatan Muhammadiyah dimulai sejak tampil menjadi Ketua Umum sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, dan Wakil Ketua Muhammadiyah. Alur kiprah kepemimpinannya di Muhammadiyah terbilang unik karena berangkat dari bekal pendidikan dasar dan menengah di Madrasah Ibtidaiyah Nahdhatul Ulama dan Madrasah Tsanawiyah Nahdhatul Ulama Sumbawa Besar. Di masa itu, Din Syamsuddin juga mendapat kesempatan memimpin Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama, IPNU Cabang Sumbawa (1970 - 1972). Tamat dari Ponpes Modern Gontor, Din Syamsuddin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dan berhasil menyelesaikan studi sarjana Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1980).
 
Seumpama biduk yang terus melenggang di pusaran arus dan riak gelombang kehidupan, semangat Din Syamsuddin mendalami khazanah ilmu dan cakrawala Islam tak terjeda aral melintang. Salah satu sumber spiritnya adalah mertuanya sendiri, Darnelis binti Thaher. Dalam ranah kecil keluarganya, istri dan putra putrinya mengenal sososk Din Syamsuddin sebagai ayah dan suami pendidik yang santun nan kaya teladan. Tak heran, jika seluruh aktivitasnya mendapat dukungan penuh dari keluarganya. Pada kesempatan terakhir saat melepas jenazah sang mertua, Din Syamsuddin mengungkapkan bahwa ibu mertuanya selalu mendukung gerak hidupnya. Bahkan, saat hendak memulai studi di Amerika hingga ketika akan mencalonkan diri menjadi ketua umum PP Muhammadiyah.
 
“Sejak awal kami memang sudah berkomitmen untuk menjadi keluarga yang saling mendukung,” ungkapnya tak tahan dibeslah rasa haru.
Ketekunan belajar dalam girah Islam yang pantang surut itu, berhasil mengantar Din Syamsuddin menempuh pasca sarjana Interdepartmental Programme in Islamic Studies di University of  California Los Angeles (UCLA) USA hingga meraih gelar MA, dan menyandang gelar doktor di universitas yang sama pada tahun 1996. Setelah kembali ke tanah air, Din Syamsuddin sempat bersinggungan dengan dunia politik praktis dengan mengomandani litbang Golkar. Dan sebagai akademisi, sehari-harinya Din Syamsuddin malang-melintang menggeluti profesi Dosen di berbagai Perguruan Tinggi seperti Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), UHAMKA dan Universitas Indonesia (UI). Pada tahun-tahun berikutnya, berkesempatan pula mendapat berbagai tugas kenegaraan yang cukup penting, diantaranya sebagai Anggota Dewan Riset Nasional, Dirjen Binapenta Departemen Tenaga Kerja RI, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga tugas lain yang tak kalah penting seperti Sekretaris Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Iindonesia, ICMI.
 
Sebagai cendekiawan muslim yang cukup konsen mendorong proses demokratisasi, Din Syamsuddin merasa berkepentingan untuk turut mengawal arah perkembangan dan kemajuan proses demokrasi di negara yang memiliki pemeluk Islam terbesar di dunia ini. Ikhtiar mulia ini, tercermin dalam sebuah statemennya: Kemenangan politik Islam di Indonesia tidak hanya ditandai oleh perolehan suara partai-partai Islam dan penguasaan posisi politik kenegaraan. Tapi pada sejauh mana nilai-nilai Islam seperti keadilan, kebenaran dan persamaan dapat menjadi bagian dari  watak bangsa. Ini yang harus terus diperjuangkan bersama seluruh komponen bangsa.
 
Sementara di kancah internasional, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah menorehkan kiprah yang tak sedikit dalam usahanya merajut relasi konstruktif dan menyuarakan urgensi hubungan damai antar pemeluk agama melalui berbagai forum yang domotorinya seperti World Peace Forum/ WPF, Asian Committee on Religions for Peace/ ACRP, Tokyo. World Conference on Religions for Peace/ WCRP, New York. World Council of  World Islamic Call Society, Tripoli. World Islamic People’s Leadership, Tripoli. Strategic Alliance Russia based Islamic World. UK-Indonesia Islamic advisory Group. 
 
Seusai terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah hasil Mukatamar ke-45 yang belangsung di Malang (periode 2005-2010), Din Syamsuddin senantiasa istiqomah mengabdikan amal dakwahnya. Sosok dan pemikiran yang humanis demokratis kian tampak jelas dalam langkah-langkah gerakannya yang tak henti menerjang sekat-sekat “kekakuan dan kebekuan” gerakan dakwah Islam. Dengan sikapnya yang jernih tapi berani, Din Syamsuddin gencar menyuarakan perlunya Islam membuka diri terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan berdunia sebagai manifestasi rahmatan lil’alamin.    
 
Negara-negara maju, seperti AS, Uni Eropa, Cina, India dan Jepang, harus ikut berinvestasi dalam menciptakan perdamaian dunia. Ketiadaan perdamaian dan krisis-krisis global selama ini harus diakui adalah akibat kegagalan sistem dunia yang didukung negara-negara maju. Demikian hal ini ditegaskan Din Syamsuddin dalam kapasitasnya sebagai Presiden Kehormatan WCRP dan Presiden ACRP pada momentum World Summit on Peace (WSP) dan International Leadership Conference (ILC) dihadapan lebih dari 300 tokoh dunia dari berbagai negara yang diselenggarakan di New York (2009).
 
“Inilah saatnya bagi bangsa-bangsa cinta damai dan keadilan untuk bangkit dan bekerjasama membangun perdamaian sejati, menghentikan kezaliman dan penjajahan baru dalam berbagai bentuknya. Maka perlu ada sistem altermatif terhadap sistem dunia yang rusak selama ini untuk berorientasi memecahkan masalah umat manusia, seperti mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, melenyapkan penyakit menular, memperbaiki kerusakan lingkungan, menghentikan perang dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Dalam kaitan ini, agama penting sekali berperan dengan mendorong etika agama itu sendiri untuk perubahan, perbaikan dan kemajuan. Namun hal ini hanya mungkin terjadi jika agama menampilkan misi sucinya sebagai penebar rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil 'alamin).” Serunya dalam kesempatan yang lain.
 
Selama menakhodai Muhammadiyah, Din Syamsuddin cenderung menampilkan langgam kepemimpinan yang akomodatif-rekonsiliatif, sembari terus beriktiar meredam ketegangan antar pemeluk agama serta mencari corak gerak perjuangan yang kontributif dan saling mendamaikan. Paling tidak, buah dari ikhtiar itu sudah terlihat dalam bingkai hubungan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama yang cenderung lebih kondusif sebagai dua ormas utama pilar bangsa. Dengan usahanya yang gigih, Din Syamsuddin dapat dikata telah mampu pula membuktikan pada dunia bahwa Persyarikatan Muhammadiyah bukan hanya ormas Islam terbesar di dunia dilihat dari spektrum amal usahanya. Namun juga, mampu meneguhkan eksistensi dan peran kekinian Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan pencerahan menuju masyarakat utama yang menjunjung tinggi perdamaian dan kebersamaan umat manusia semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar